Sejarah kelahiran PWRI

Berbagai organisasi pensiunan sejak kemerdekaan Republik Indonesia telah terbentuk diberbagai daerah, dengan anggotanya para pensiunan berbagai latar belakang tergabung dalam puluhan organisasi.
Organisasi pensiunan diantaranya berskala besar lintas daerah, antara lain  :

  1. Dewan Musyawarah Nasib Pensiunan (DMNP), dipimpin oleh Rd Tumenggung Djoewarsa, mantan Residen Karawang di Bandung;
  2. Persatuan Bekas Pegawai Negara Indonesia (PBPNI) di Tasikmalaya, pimpinan M. Hardjasuwardja dan H. Partawidjaja;
  3. Persatuan Pensiunan Bumiputra (PPB) di Malang, pimpinan RAA Samadikun Prawotohadikoesoemo, pensiunan Gubernur Jawa Timur;
  4. Persatuan Pensiunan Seluruh Indonesia (PPSI) yang merupakan Penggabungan Kesatuan Kaum Pensiunan (KKP Solo) pimpinan Raden Tumenggung Sarwoko Mangoenkoesoemo, seorang pensiunan Bupati-patih Mangkunegaran, dengan Persatuan Pensiunan Pegawai (PPP) Jatinegara pimpinan Kasan Kartadiredja.

Melalui Kongres Persatuan Pensiunan pertama di Bandung tanggal 25 s/d 27 Desember tahun 1956 dan Kongres Persatuan Pensiunan ke dua  di Solo tanggal 27 s/d 28 September tahun 1957, lahir PPSI hasil penggabungan beberapa organisasi pensiunan.
Perjalanan organisasi pensiunan selanjutnya bersepakat membentuk Dewan Presidium Persatuan Pensiunan Republik Indonesia (PPRI), mengakhiri masa pecah belah Organisasi Pensiunan waktu itu, dengan likwidasi/meleburkan diri sebagai wadah tunggal para pensiunan.

Presidium PPRI berkedudukan di Jakarta waktu itu, dengan 7 Komisariat Daerah    (Komda) :

  • Jakarta
  • Jawa Barat
  • Jawa Tengah
  • Jawa Timur
  • Kalimantan Selatan
  • Sulawesi Utara Tengah (Sulutteng)
  • Sumatera Utara

Dengan pertimbangan bahwa Yogyakarta adalah kota bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan, maka Kongres Pensiunan sepakat diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 24-27 Juli 1962.

Tanggal 24 Juli disepakati bersama menjadi Hari Lahir dan Hari Ulang Tahun Persatuan Wredatama Republik Indonesia.
 
Organisasi yang sebelumnya dulu PPRI (Persatuan Pensiunan Republik Indonesia) berubah menjadi PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia). dengan kebijaksanaan Pusat ketika dimintakan Badan Hukum ke Departemen Kehakiman telah ada Organisasi lain, yang telah mendapat Badan Hukum lebih dahulu yang dengan singkatan PPRI juga. Dengan persetujuan pihak Departemen Kehakiman dengan Pengurus Pusat, nama itu diganti PWRI, selanjutnya memberitahukan hal itu keseluruh Daerah dan Cabang-cabangnya.

Di dalam tahun 1963, atau tepatnya setahun sesudah Kongres pertama di Jogya, Dewan Presidium mengambil putusan yang penting dan prinsipil, yaitu supaya penggunaan istilah “Pensiunan” dalam nama organisasi diganti dengan istilah “Wredatama”, dimana diingatkan kepada makna dalam bangsa asing “loontrekker” dihilangkan dan diganti dengan nama “wredatama” yang berarti : wreda = orang tua, dan tama = asal dari utama, sehingga makna wredatama adalah orang tua utama.

Perubahan/penggantian nama ini mempunyai arti yang luas, oleh karena seorang wredatama yang walaupun sudah dibebaskan dari tugas-tugas kenegaraan, hakekatnya ia tidak bebas dari tugas dan kewajiban selaku warganegara.
Dengan lain perkataan ia tetap sebagai insan pejuang bagi Negara dan Bangsa, dan tidak bisa disejajarkan dengan seorang “pensiunan” ala Belanda yang disanjung dengan perkataan “op zijn lauweren rusten”, bebas dari segala kegiatan hidup sehari-hari.

Berkenaan pengertian di atas, maka sewajarnyalah bila istilah “pensiun” pula diganti dengan “wredatama”