PADA bulan September 1993, penulis mendapat perintah dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bapak Drs. Marie Muhammad untuk ikut bernegosiasi mewakili Indonesia di Forum PBB – GATT (General Agreement on Tariff and Trade), untuk memimpin Delegasi Indonesia, bernegosiasi di sektor Dagang Jasa-Jasa (Trade in Services) di Kota Geneva, Swiss. Kita hanya bernegosiasi Dagang Jasa di : Sektor Pariwisata, Sektor Keuangan, Sektor Perhubungan : Darat, Laut, dan Udara, Sektor Telkom, dan Sektor Investasi.
Ada lagi Delegasi yang lain, yang bernegosiasi juga dengan negara-negara Anggota GATT, adalah yang bernegosiasi dibidang Hak-Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Indonesia menugaskan Bapak Dr. Bambang Kesowo, dari Kantor Sekretaris Negara (Sekneg) untuk bernegosiasi dibidang HAKI ini. Dan yang bernegosiasi di bidang Dagang Barang adalah, Bapak Bahrum Rangkuti dari Departemen Perindustrian.
Setelah sebulan delegasi Indonesia ngendon di Kota Geneva, maka tercapailah kesepakatan bahwa “Setuju Perdagangan Bebas (Free Trade), yang akan di praktekan mulai tahun 2021, yang berarti masih cukup waktu untuk masing-masing negara mempersiapkan dirinya untuk mempraktekan Bebas Berdagang Barang dan Jasa. Artinya tidak bakal ada lagi praktek: Tariff dan Quota dalam Perdagangan Internasional Antar Negara di Dunia, dimulai tahun 2021.
Ketua Delegasi Indonesia pada perundingan itu adalah Bapak (Almarhum) Dr. Hasan Kartadjumena. Beliau ini adalah Duta Besar Republik Indonesia pada Organisasi GATT. Beliau pada akhir perundingan itu berujar kepada penulis “Marzuki kita harus malu kepada Generasi Proklamator Indonesia, yakni Bung Karno dan teman-temannya berhasil memerdekakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” Penulis menjawab, “Bagaimana mungkin kita bisa mendiktekan kemauan kita, yakni tidak setuju kepada Perdagangan Bebas Barang dan Jasa (Free Trade in Goods and Services), melawan negara Amerika Serikat dan Eropa”.
Beliau melanjutkan lagi “Pada tahun 1949, Generasi Proklamasi kita bernegosiasi dengan Pemerintah Kolonial Belanda, di kota Lake Success, New York, Amerika Serikat. Delegasi Indonesia di pimpin oleh Menteri Luar Negeri, Bapak Haji Agus Salim, umur 44 tahun, dengan Anggota Delegasi, Bapak Dr. Sumitro Djojohadikusumo, umur 30 tahun, Bapak Sudarpo, umur 30 tahun, Bapak Sudjatmoko, umur 26 tahun, Bapak Des Alwi, umur 30 tahun, dan Bapak L.N. Palar, umur 30 tahun.
Di lain pihak, Delegasi Belanda beranggotakan para Diplomat yang Berkawakan. Delegasi Indonesia memenangkan perundingan itu, dan lalu di follow-up dengan Konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, dan terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Di dalam perundingan itu, Delegasi Belanda mengatakan bahwa Republik Indonesia sudah selesai, Akan tetapi di jawab oleh Delegasi Indonesia, “Tidak, Republik Indonesia masih ada dan hidup. Buktinya lagi, Kota Yogyakarta sebagai Ibu kota Republik Indonesia, sudah di duduki oleh Belanda. Tetapi pada tanggal 1 Juni 1949, Letnan Kolonel Soeharto berhasil menduduki Kota Yogyakarta meskipun cuma selama 6 jam. Dan, berita itu dikirim dengan telegram kepada Delegasi Indonesia yang lagi bernegosiasi dengan pihak Belanda di Lake Success, New York, menyampaikan fakta bahwa sekarang kota Yogyakarta dikuasai oleh Tentara NKRI.
Belakangan penulis ketemu dengan Bapak Des Alwi, beliau berucap, “Marzuki, Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dibisikin oleh Perdana Menteri, JW Nehru, You have to do something to prove its, that NKRI still okay and occupied Citi of Yogyakarta!”
Alangkah indahnya kalau kita pandai berterima kasih kepada jasanya JW Nehru! Semogalah.
Sumber: sinarharapan.co